Ketergantungan kepada Allah dalam bahasa syariat disebut tawakal. Kita tentu familiar dengan kata ini. Namun, lihatlah diri kita, kemudian tanyakan kepadanya tentang tawakal yang dipahami dan bagaimana mempraktikkannya?
Ambil contoh kecil ketika kita dihadapkan dengan perbedaan pendapat tentang suatu perkara agama. Kita cenderung merasa bahwa kita mampu menemukan jawaban yang lebih mendekati kebenaran dengan cara mencari referensi, mendengarkan fatwa ulama, atau bahkan memutuskan sendiri pendapat yang benar.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kita doa berikut ini:
اللهمَّ ربَّ جِبرائيل، ومِيكائيل، وإسرافيل، فاطرَ السماوات والأرض، عالمَ الغيب والشهادة، أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون، اهدني لما اختُلِف فيه من الحق بإذنك، إنَّك تهدي مَن تشاء إلى صراطٍ مستقيمٍ
“Ya Allah! Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil. Pencipta langit dan bumi, Zat Yang mengetahui perkara gaib dan tampak. Engkaulah yang menetapkan keputusan apa yang diperselisihkan di antara hamba-hamba-Mu. Tunjukkanlah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan (manusia) dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Maksudnya, bahkan dalam menghadapi perkara kecil pun kita dianjurkan untuk melaksanakan salat dan membaca doa ini sebagai istiftah guna mendapatkan petunjuk kebenaran atas perkara tersebut. Demikianlah salah satu contoh kecil bagaimana mempraktikkan tawakal dalam kehidupan.
Lebih lanjut, apabila kita mempelajari sirah tentang bagaimana para salafus shalih bertawakal kepada Allah, bahkan dalam perkara-perkara kecil, maka akan kita dapati betapa mereka benar-benar ketergantungan pada Allah Ta’ala.
Bukankah ini pertanda bahwa mereka begitu dekat dengan Rabbnya?
Aisyah radhiyallahu ta’ala ‘anha mengatakan,
سَلُوا اللَّهَ كُلَّ شَيءٍ حَتَّى الشِّسعَ
“Mintalah kepada Allah, bahkan meminta tali sendal sekalipun.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2: 42, Al-Albani berkata, “mauquf jayyid” dalam Silsilah Adh-Dha’ifah no. 1363)
Saudaraku, bayangkan! Perkara tali sendal pun mereka merasa bahwa hanya kepada Allah tempat mengadu. Bahkan hingga urusan garam dan tali kekang untuk ternaknya pun mereka selalu menggantungkan urusan itu kepada Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,
وكان بعض السلف يسأل الله في صلاته كل حوائجه حتى ملح عجينه وعلف شاته
“Dahulu para salaf meminta kepada Allah dalam salatnya, semua kebutuhannya sampai-sampai garam untuk adonannya dan tali kekang untuk kambingnya.” (Jami’ Al-Ulum wal-Hikam, 1: 225)